Sabtu, 28 Februari 2015

Implikasi Konsep Wawasan Nusantara terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir




I.                  Perjuangan Diplomasi Maritim Indonesia
Dimulai dari Deklarasi Djuanda 57 tahun yang lalu yang bertujuan untuk menjelaskan ke dunia bahwa laut yang ada diantara pulau-pulau di Indonesia adalah bagian wilayah laut Indonesia. Indonesia melegalisasi deklarasi tersebut dalam UU RI No.4/Prp. 1960 perihal perairan Indonesia. Deklarasi Juanda tidak hanya terhenti pada deklarasi tetapi juga diperjuangkan menjadi landasan penentuan batas laut bagi komunitas internasional.

Diplomasi maritim mengawal Deklarasi Djuanda supaya diterima oleh komunitas internasional. Pada tahun 1982, mayoritas anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyepakati Konvensi PBB tentang Hukum Laut (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS-82) di Wina. Deklarasi Juanda juga tercantum di dalam UNCLOS dengan mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan.

UNCLOS berisi tentang pengakuan 12 mil laut teritorial dari negara-negara di dunia dan adanya kedaulatan negara atas sumber daya kelautan dan keterkaitan hukum lainnya di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) selebar 200 mil dan landas kontinennya. UNCLOS diratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk UU No 17/1985. Majelis Umum PBB mensahkan UNCLOS sebagai fondasi hukum atas kelautan dunia yang berlaku efektif pada tanggal 16 November 1994.

Dibutuhkan waktu yang lama untuk memasukkan Deklarasi Juanda ke dalam UNCLOS (25 tahun). Kesabaran dan ketekunan adalah modal dari para pendahulu kita terutama Mochtar Kusumatmadja dan Hasjim Djalal.

Indonesia secara konsisten memperjuangkan agar elemen-elemen Deklarasi Juanda masuk ke dalam UNCLOS. Diplomasi maritim juga melakukan perundingan- perundingan bilateral antara Indonesia dan negara-negara yang berbatasan langsung dengannya seperti Malaysia, Singapura, Palau dan Australia. Ada perundingan yang sudah disepakati dan ada juga yang masih berjalan.

II.                Wilayah Maritim Indonesia
Seperti yang disampaikan pada UNCLOS sebuah  negara  pantai  berhak  atas  laut  territorial  (hingga  12  mil  laut),  zona tambahan  (hingga  24  mil  laut),  ZEE  (hingga  200  mil  laut),  dan  landas  kontinen  atau  dasar laut  yang  lebarnya  bisa  lebih  dari  200  mil  laut.  Ini  berdasarkan  ketentuan  Konvensi  PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Dari mana lebar zona maritim ini diukur?  Dari garis pangkal. Garis pangkal ini bisa berupa garis pantai ketika air surut atau bisa juga berupa garis lurus yang menghubungkan titik paling tepi pulau-pulau terluar. Indonesia, dalam hal ini, berhak atas  garis  pangkal  demikian  yang  disebut  garis pangkal  kepulauan.  Gambar berikut :

Gambar diatas Kawasan maritim yang bisa diklaim negara pantai (kepulauan) menurut UNCLOS
Dari  gambar di  atas bisa  dilihat bahwa  luas  laut yang bisa diklaim  sangatlah  luas  menurut UNCLOS,  jauh  lebih  luas  dari  daratannya  sendiri.  Meski  demikian,  mungkinkah  sebuah negara  bisa  mengklaim  laut  yang  begitu  luas?  Tentu  tidak  mungkin  karena  di  sekitarnya pasti  ada  negara  tetangga  yang  juga  memiliki  hak  yang  sama.  Artinya,  meskipun  suatu negara  berhak  atas  ZEE  sejauh  200  mil  laut,  negara  tersebut  tentu  tidak  bisa  mengklaim semuanya jika tetangganya berada  kurang  dari 2 x 200 mil  laut  darinya.

III.             Perbatasan-Perbatasan Dengan Negara Tetangga
Dilihat dari sisi Geografis Indonesia terletak berdekatan dengan beberapa negara yang ada disekitarnya sehingga indonesia tidak dapat mengklaim atas ZEE sejauh 200 mil laut, dikarenakan oleh negara-negara yang berdekatan dengan indonesia juga berhak atas hal tersebut. Karena  sama-sama  berhak  dan  jaraknya  yang  berdekatan, negara-negara  pantai  harus  berbagi  laut  yang  disebut  dengan  delimitasi  maritim,  seperti diilustrasikan pada Gambar dibawah ini :


      Atas dasar tersebut maka harus dibuat kesepatan antar negara yang saling berbatasan untuk membuat batas maritim antar negara tersebut. Tapi  hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan, hal tersebut dikarenakan karena pada dasarnya negara pasti ingin wilayah yang seluas-luasnya, hal tersebut mengakibatkan sulit disepakati perjanjian tersebut atau perlu perundingan atau negosiasi yang alot untuk dapat menetapkan batas antar negara-negara tersebut. Hal tersebut pula yang mengakibatkan saling klaimnya batas antar negara-negara tersebut sehingga terjadi saling klaim atas wilayah laut antar negara-negra yang berdekatan. Hal tersebut harus segara diatasi dengan diadakannya perundingan antar negara-negara tersebut agar permasalahan pelanggaran batas wilayah atar negara-negara bisa segera diatasi.

Referensi
1.      I Made Andi Arsana, “Memagari Laut Nusantara : Penetapan Batas Maritim Indonesia untuk Mendukung Kedaulatan dan Hak Berdaulat NKRI”

Rabu, 18 Februari 2015

Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 Menjadi UU No. 1 Tahun 2014


Perubahan pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilyah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi UU No. 1 Tahun 2014 dikarenakan adanya gugatan dari sekelompok nelayan dan LSM, gugatan tersebut dimaksutkan pada HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) yang diatur dalam UU No. 27 Tahun 2007. Hal tersebut dikarenakan HP3 dianggap dapat mengurangi ruang gerak nelayan tradisional untuk mencari ikan dan membuka peluang penguasaan para pemilik modal untuk menguasai perairan pesisir.


Kemudian imbas dari hal tersebut adalah dengan pengajuan gugatan dari kelompok tersebut ke MK yang pada akhirnya gugatan tersebut dapat dikabulkan oleh MK sehingga terbentuklah UU No. 1 Tahun 2014 sebagai revisi atau penyempurnaan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Adapun pasal yang mengalami perubahan dari UU No. 27 Tahun 2007 menjadi UU No. 1 Tahun 2014 adalah sebanyak 17 pasal dan ditambahkan 7 pasal baru serta penambahan 2 ayat baru pada pasal 1. Perubahan dan penambahan pada pasal ataupun ayat tersebut pada dasarnya meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
a.       Pasal 1 menjelaskan tentang :
Definisi hal-hal yang berkaitan dengan Pengelolaan wilayah Pesisir, wilayah cakupannya, dan dampak dari pengelolaannya, serta pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
b.      Pasal 14 menjelaskan tentang tata cara atau mekanisme penyusunan rencana.
c.       Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 22A, 22B, 22C, 26A, 30, 50 menjelaskan tentang perizinan dalam pemanfaatan atau pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
d.      Pasal 60 menjelaskan tentang hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat.
e.       Pasal 63 menjelaskan tentang pemberdayaan masyarakat.
f.       Pasal 71 menjelaskan tentang sanksi administratif.
g.      Pasal 75 dan pasal baru 75A menjelaskan tentang ketentuan pidana.
h.      Pasal 78A dan 78B menjelaskan tentang pelimpahan kewenangan wilâyah Konservasi Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil ditunjukan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, penyesuaian Izin Pemanfaatan Pesisir Dan perairan pulau-pulau Kecil yang telah ada tetap berlaku dan wajib menyesuaikan dengan Undang-undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 tahun.


Referensi

UU No. 7 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil