Minggu, 29 Maret 2015

Tantangan Indonesia di Samudera Hindia untuk Menuju Poros Maritim Dunia


Pembangunan Indonesia di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo akan difokuskan pada dunia maritim. Indonesia sendiri pada hakekatnya adalah negara maritim dengan posisi strategis di antara dua samudera, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Berbagai kebijakan pun diarahkan untuk memperkuat tujuan tersebut, di antaranya upaya membangun kembali budaya maritim Indonesia, pengelolaan sumber daya laut, pengembangan dan konektivitas maritim, diplomasi maritim, dan pembangunan kekuatan pertahanan maritim. Untuk memainkan peran yang efektif dan konstruktif, Indonesia harus berhati-hati dalam memahami wilayah Samudera Hindia, dan harus memahami aspek yang benar-benar memiliki manfaat.
Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, keberadaan Samudera Hindia sangat strategis. Sekitar 20 persen dari total perniagaan di seluruh dunia, harus melalui perairan ini. Sebuah studi dari French Institute for the Exploitation of the Sea merilis bahwa lalu lintas kapal di Samudera Hindia mengalami pertumbuhan lebih dari 300 persen dalam dua puluh tahun terakhir. Memahami makna strategis Samudera Hindia, maka negara-negara di pesisir pun telah mengambil langkah-langkah penting guna meningkatkan kemampuan angkatan laut.
Akibatnya, Samudera Hindia kini menjadi ‘rumah’ bagi alokasi anggaran militer terbesar di dunia. Misalnya, tahun ini India menyediakan 5,8 miliar dollar untuk memodernisasi dan memperluas kemampuan angkatan laut, yang meliputi penambahan perlengkapan untuk kapal induk Vikrant, dan mengaktifkan reaktor kapal Arihant.
Sementara itu, Tiongkok terlihat aktif dalam membangun pelabuhan di Myanmar, Bangladesh, Pakistan, Seychelles dan Maladewa. Meskipun pemerintah Tiongkok mengklaim bahwa pelabuhan itu dibangun untuk tujuan komersial, namun dikucurkannya bantuan di bidang militer dan ekonomi di wilayah tersebut telah menimbulkan tanda tanya. Diduga, ada ambisi jangka panjang Tiongkok di Samudera Hindia.
Sementara itu, ada berbagai kasus rumit yang terjadi di Samudera Hindia seperti; bajak laut (di pantai lepas Somalia), atau keberadaan negara non-penandatangan non-proliferasi nuklir, dan ketidakjelasan proyeksi militer Amerika Serikat dari Diego Gracia. Tantangan-tantangan keamanan ini, semakin hari semakin kompleks, dan sayangnya berjalan berlarut-larut tanpa solusi yang efektif.
Lalu, peta regional di kawasan Pasifik juga masih menunjukkan berbagai hambatan. Seperti diketahui, ada sengketa yang sedang berlangsung di Asia Timur yaitu memanasnya konflik di Laut Cina Selatan, kendati forum ASEAN dan APEC telah menghimbau agar negara-negara di Asia Timur tetap bekerja sama dan menjunjung tinggi kepentingan bersama.
Di wilayah Samudera Hindia, kondisi keamanan regional juga tengah mengalami kebuntuan.  Asosiasi Kerjasama Regional Asia Selatan (SAARC), masih tersandung akibat rivalitas India-Pakistan. Hal ini menjadikan IORA, sebagai satu-satunya forum regional di Samudera Hindia yang harus mampu mengelola negara-negara pesisir dengan segala kompleksitasnya.
Beberapa tahun terakhir ini, upaya untuk memperkuat IORA telah dicoba. Misalnya, selaku Ketua IORA saat ini, Australia telah mengusulkan inisiatif kerjasama ekonomi dalam bentuk IORA Bussiness Week. Negeri Kangguru ini juga menyiapkan dana sebesar 1 juta dollar untuk meningkatkan kerjasama ekonomi di wilayah Samudera Hindia. Yang tak kalah penting, IORA telah menyatakan bahwa keamanan maritim sebagai prioritas utama, sebagaimana yang terungkap dalam pertemuan Dewan Menteri IORA ke-13 di Perth bulan lalu.
Walau telah menunjukkan perkembangan yang positif, namun semuanya masih belum seberapa. Dewasa ini, IORA menghadapi sedikitnya tiga tantangan utama, yaitu:
Pertama, IORA belum mampu menjadi sebuah lembaga yang efektif. Sampai hari ini, IORA masih didesain sebagai lembaga dengan ambisi dan minat yang kompleks, seperti keamanan maritim, perdagangan dan investasi, pengelolaan perikanan, pertukaran budaya dll. Sejak berdiri pada tahun 1997, belum ada bidang tertentu yang digarap secara efektif. Selain itu, inisiatif kerjasama ekonomi antara people to people juga masih sangat terbatas.
Kedua, Samudera Hindia tidak memiliki identitas regional yang jelas. Kondisi antara negara anggota di  Australia, dan negara anggota yang terletak di Afrika, memiliki perbedaan yang sangat tajam sehingga sangat sulit bagi IORA untuk menentukan kebijakan umum. Kerjasama di bidang keamanan juga masih sangat rapuh. Kendati ada inisiatif untuk mengokohkan kerjasama kemanan di luar IORA, seperti Milan and the Indian Ocean Naval Symposium (IONS), namun hal ini masih difokuskan pada hal-hal operasional, yang tidak memiliki kaitan dengan kebijakan dan strategi, dan dinilai tidak mampu untuk mengakomodasi kekuatan eksternal.
Ketiga, Tiongkok, AS dan beberapa negara lainnya telah menjadi mitra dialog IORA. Namun mereka tidak bisa memainkan peran konstruktif karena terbentur dengan peraturan yang berlaku.
Melihat kondisi sedemikian rupa, sepertinya negara di pesisir Samudera Hindia ini tidak memiliki kemauan untuk mendirikan sebuah lembaga regional yang mapan. Tingkat tertinggi pertemuan IORA saat ini baru sampai di level Dewan Menteri Luar Negeri, dan belum mencapai kepala negara/pemerintahan. Berbagai kelompok kerja IORA masih ditangani oleh pejabat senior atau junior. Begitu pula halnya dengan pembahasan keamanan yang baru melibatkan Kepala Angkatan Laut, bukan Menteri Pertahanan.
Referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar