Pembangunan Indonesia di era kepemimpinan
Presiden Joko Widodo akan difokuskan pada dunia maritim. Indonesia sendiri pada
hakekatnya adalah negara maritim dengan posisi strategis di antara dua
samudera, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Berbagai
kebijakan pun diarahkan untuk memperkuat tujuan tersebut, di antaranya upaya
membangun kembali budaya maritim Indonesia, pengelolaan sumber daya laut,
pengembangan dan konektivitas maritim, diplomasi maritim, dan pembangunan
kekuatan pertahanan maritim. Untuk memainkan peran yang
efektif dan konstruktif, Indonesia harus berhati-hati dalam memahami wilayah
Samudera Hindia, dan harus memahami aspek yang benar-benar memiliki manfaat.
Ditinjau dari
sudut pandang ekonomi, keberadaan Samudera Hindia sangat strategis. Sekitar 20
persen dari total perniagaan di seluruh dunia, harus melalui perairan ini.
Sebuah studi dari French
Institute for the Exploitation of the Sea merilis bahwa lalu lintas kapal di
Samudera Hindia mengalami pertumbuhan lebih dari 300 persen dalam dua puluh
tahun terakhir. Memahami makna strategis Samudera Hindia, maka negara-negara di
pesisir pun telah mengambil langkah-langkah penting guna meningkatkan
kemampuan angkatan laut.
Akibatnya,
Samudera Hindia kini menjadi ‘rumah’ bagi alokasi anggaran militer terbesar di
dunia. Misalnya, tahun ini India menyediakan 5,8 miliar dollar untuk
memodernisasi dan memperluas kemampuan angkatan laut, yang meliputi penambahan
perlengkapan untuk kapal induk Vikrant, dan mengaktifkan reaktor kapal Arihant.
Sementara
itu, Tiongkok terlihat aktif dalam membangun pelabuhan di Myanmar, Bangladesh,
Pakistan, Seychelles dan Maladewa. Meskipun pemerintah Tiongkok mengklaim bahwa
pelabuhan itu dibangun untuk tujuan komersial, namun dikucurkannya bantuan di
bidang militer dan ekonomi di wilayah tersebut telah menimbulkan tanda tanya.
Diduga, ada ambisi jangka panjang Tiongkok di Samudera Hindia.
Sementara
itu, ada berbagai kasus rumit yang terjadi di Samudera Hindia seperti; bajak
laut (di pantai lepas Somalia), atau keberadaan negara non-penandatangan
non-proliferasi nuklir, dan ketidakjelasan proyeksi militer Amerika Serikat
dari Diego Gracia. Tantangan-tantangan keamanan ini, semakin hari semakin
kompleks, dan sayangnya berjalan berlarut-larut tanpa solusi yang efektif.
Lalu,
peta regional di kawasan Pasifik juga masih menunjukkan berbagai hambatan.
Seperti diketahui, ada sengketa yang sedang berlangsung di Asia Timur yaitu
memanasnya konflik di Laut Cina Selatan, kendati forum ASEAN dan APEC telah
menghimbau agar negara-negara di Asia Timur tetap bekerja sama dan menjunjung
tinggi kepentingan bersama.
Di
wilayah Samudera Hindia, kondisi keamanan regional juga tengah mengalami
kebuntuan. Asosiasi Kerjasama Regional Asia Selatan (SAARC), masih
tersandung akibat rivalitas India-Pakistan. Hal ini menjadikan IORA, sebagai
satu-satunya forum regional di Samudera Hindia yang harus mampu mengelola
negara-negara pesisir dengan segala kompleksitasnya.
Beberapa
tahun terakhir ini, upaya untuk memperkuat IORA telah dicoba. Misalnya, selaku
Ketua IORA saat ini, Australia telah mengusulkan inisiatif kerjasama ekonomi
dalam bentuk IORA Bussiness
Week. Negeri Kangguru ini juga menyiapkan dana sebesar 1 juta dollar untuk
meningkatkan kerjasama ekonomi di wilayah Samudera Hindia. Yang tak kalah
penting, IORA telah menyatakan bahwa keamanan maritim sebagai prioritas utama,
sebagaimana yang terungkap dalam pertemuan Dewan Menteri IORA ke-13 di Perth
bulan lalu.
Walau
telah menunjukkan perkembangan yang positif, namun semuanya masih belum
seberapa. Dewasa ini, IORA menghadapi sedikitnya tiga tantangan utama, yaitu:
Pertama,
IORA belum mampu menjadi sebuah lembaga yang efektif. Sampai hari ini, IORA
masih didesain sebagai lembaga dengan ambisi dan minat yang kompleks, seperti
keamanan maritim, perdagangan dan investasi, pengelolaan perikanan, pertukaran
budaya dll. Sejak berdiri pada tahun 1997, belum ada bidang tertentu yang
digarap secara efektif. Selain itu, inisiatif kerjasama ekonomi antara people to people juga masih sangat terbatas.
Kedua,
Samudera Hindia tidak memiliki identitas regional yang jelas. Kondisi antara
negara anggota di Australia, dan negara anggota yang terletak di Afrika,
memiliki perbedaan yang sangat tajam sehingga sangat sulit bagi IORA untuk
menentukan kebijakan umum. Kerjasama di bidang keamanan juga masih sangat
rapuh. Kendati ada inisiatif untuk mengokohkan kerjasama kemanan di luar IORA,
seperti Milan and the
Indian Ocean Naval Symposium (IONS),
namun hal ini masih difokuskan pada hal-hal operasional, yang tidak memiliki
kaitan dengan kebijakan dan strategi, dan dinilai tidak mampu untuk
mengakomodasi kekuatan eksternal.
Ketiga,
Tiongkok, AS dan beberapa negara lainnya telah menjadi mitra dialog IORA. Namun
mereka tidak bisa memainkan peran konstruktif karena terbentur dengan peraturan
yang berlaku.
Melihat
kondisi sedemikian rupa, sepertinya negara di pesisir Samudera Hindia ini tidak
memiliki kemauan untuk mendirikan sebuah lembaga regional yang mapan. Tingkat
tertinggi pertemuan IORA saat ini baru sampai di level Dewan Menteri Luar
Negeri, dan belum mencapai kepala negara/pemerintahan. Berbagai kelompok kerja
IORA masih ditangani oleh pejabat senior atau junior. Begitu pula halnya dengan
pembahasan keamanan yang baru melibatkan Kepala Angkatan Laut, bukan Menteri
Pertahanan.
Referensi