"Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawal"Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri."Itulah penggalan pidato Presiden Pertama RI Soekarno pada tahun 1953. Pidato tersebut tampaknya sangat relevan untuk diwujudkan pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla (2014-2019).
Namun untuk menuju tujuan tersebut indonesia harus sesegera mungkin untuk menyelesaikan masalah-masalah kelautan indonesia. Misalnya illegal fishing. Bayangkan, kejahatan illegal fishing yang dilakukan oleh ribuan kapal asing terus saja marak terjadi. Data Badan Pemeriksa Keuangan (2013) menunjukkan, potensi pendapatan sektor perikanan laut kita jika tanpaillegal fishing mencapai Rp. 365 triliun per tahun. Namun, akibat illegal fishing, menurut hitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011), pendapatan tersebut hanya berkisar Rp. 65 triliun per tahun. Jadi ratusan triliun rupiah devisa negara hilang setiap tahun.
Di samping itu, kita juga belum pandai memanfaatkan letak geografis Indonesia. Padahal, Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, telah menetapkan tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai alur pelayaran dan penerbangan oleh kapal atau pesawat udara internasional. Ketiga ALKI tersebut dilalui 45% dari total nilai perdagangan dunia atau mencapai sekitar 1.500 dolar AS. Sayangnya, posisi geografis yang penting itu belum kita manfaatkan dengan baik. Terbukti, kita belum punya pelabuhan-pelabuhan transit bagi kapal niaga internasional yang berlalu lalang di 3 ALKI tadi. Akan tetapi walaupun Indonesia sudah memiliki 3 ALKI tersebut, statusnya masih sebagai ALKI parsial dimata dunia Internasional, sehingga Indonesia harus segera melengkapi ataupun mempertahankan 3 ALKI tersebut sebagai ALKI penuh dikalangan dunia Internasional.
Bukan halnya itu saja Karena posisi geografisnya, Indonesia memiliki klaim maritim yang tumpang tindih dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Tumpang tindih ini bisa terjadi pada laut teritorial maupunn ZEE atau landas kontinen. Artinya, berdasarkan UNCLOS, Indonesia wajib menetapkan batas maritim dengan kesepuluh negara tetangga tersebut. Indonesia sudah mulai menetapkan batas maritim sejak tahun 1969 dengan Malaysia di Selat Malaka dan Laut China Selatan. Sejak itu, beberapa batas maritim juga disepakati dengan India, Thailand, Singapura, Vietnam, Papua Nugini, Australia, dan Filipina, meskipun belum tuntas. Sementara itu belum ada batas maritim yang disepakati dengan Palau dan Timor Leste.
Penggunaan teknologi dalam dunia maritim indonesia harus pula dimaksimalkan agar dapat mengoptimalkan potensi kelautan Indonesia. Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah pengindraan jauh. Salah satu pemanfaatan data pengindraan jauh untuk aplikasi kelautan adalah pengukuran suhu permukaan laut (SPL). SPL merupakan salah satu parameter geofisika yang diperlukanoleh peneliti untuk berbagai aplikasi seperti untuk klimatologi, perubahan suhu permukaan laut global, respon atmosfer terhadap anomali suhu permukaan laut, prediksi cuaca, pertukaran gas antara udara dengan permukaan laut, pergerakan massa air, studi polusi, perikanan, dan dinamika oseanografi seperti fenomena eddi, gyre, front dan upwelling. Suhu permukaan laut dapat diperoleh dari pengukuran langsung atau dari ekstraksi data satelit penginderaan jauh.
Gambar Informasi ZPPI Harian yang dibagi menjadi 24 Project Area(PA), PA 12 (kiri) dan PA 13 (kanan).
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sudah sejak tahun 1986 melakukan penelitian pemanfaatan data satelit penginderaan jauh guna mengkaji dan memantau beberapa jenis parameter fisik perairan laut, seperti suhu permukaan laut (SPL), kekeruhan air, dan sebaran/konsentrasi klorofil-a. Pada tahun 1990 dilaksanakan aplikasi data inderaja untuk penentuan daerah potensi tambak, tahun 2000-2001 dilaksanakan pemetaan terumbu karang di seluruh wilayah Indonesia, dan sejak tahun 2002 dilaksanakan aplikasi informasi spasial ZPPI berdasarkan data satelit inderaja untuk mendukung usaha peningkatan hasil tangkapan ikan oleh para nelayan. Sampai sekarang, produksi informasi ZPPI masih terus dilakukan dan disebarkan ke seluruh Indonesia melalui Dinas-dinas Kelautan dan Perikanan di berbagai daerah. Akan tetapi peta ini belum bisa dimaksimalkan oleh para nelayan untuk memaksimalkan potensi yang ada pada perairan indonesia sehingga perlu adanya pendampingan dari pemerintah agar peta tersebut dapat dipakai secara maksimal oleh para nelayan.
Referensi :
1. Gathot Winarso, M. Rokhis Khomarudin, Syarif Budhiman, dan Maryani Hartuti. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mendukung Program Kemaritiman. LAPAN
2. I Made Andi Arsana. Penetapan Batas Maritim Indonesia untuk Mendukung Kedaulatan dan Hak Berdaulat NKRI
3. http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/mewujudkan-indonesia-sebagai-poros-maritim-dunia-yang-maju-dan-mandiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar