Jumat, 06 Maret 2015

Memaksimalkan Potensi Kelautan Indonesia Untuk Menuju Poros Maritim Dunia

       "Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawal"Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri."Itulah penggalan pidato Presiden Pertama RI Soekarno pada tahun 1953. Pidato tersebut tampaknya sangat relevan untuk diwujudkan pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla (2014-2019). 
Namun untuk menuju tujuan tersebut indonesia harus sesegera mungkin untuk menyelesaikan masalah-masalah kelautan indonesia. Misalnya illegal fishing. Bayangkan, kejahatan illegal fishing yang dilakukan oleh ribuan kapal asing terus saja marak terjadi. Data Badan Pemeriksa Keuangan (2013) menunjukkan, potensi pendapatan sektor perikanan laut kita jika tanpaillegal fishing mencapai Rp. 365 triliun per tahun. Namun, akibat illegal fishing, menurut hitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011), pendapatan tersebut hanya berkisar Rp. 65 triliun per tahun. Jadi ratusan triliun rupiah devisa negara hilang setiap tahun.
Di samping itu, kita juga belum pandai memanfaatkan letak geografis Indonesia. Padahal, Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, telah menetapkan tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai alur pelayaran dan penerbangan oleh kapal atau pesawat udara internasional. Ketiga ALKI tersebut dilalui 45% dari total nilai perdagangan dunia atau mencapai sekitar 1.500 dolar AS. Sayangnya, posisi geografis yang penting itu belum kita manfaatkan dengan baik. Terbukti, kita belum punya pelabuhan-pelabuhan transit bagi kapal niaga internasional yang berlalu lalang di 3 ALKI tadi. Akan tetapi walaupun Indonesia sudah memiliki 3 ALKI tersebut, statusnya masih sebagai ALKI parsial dimata dunia Internasional, sehingga Indonesia harus segera melengkapi ataupun mempertahankan 3 ALKI tersebut sebagai ALKI penuh dikalangan dunia Internasional.
     Bukan halnya itu saja Karena posisi geografisnya, Indonesia memiliki klaim maritim yang tumpang tindih dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste.  Tumpang tindih ini bisa terjadi pada laut teritorial maupunn  ZEE  atau  landas  kontinen.  Artinya, berdasarkan UNCLOS,  Indonesia  wajib menetapkan  batas maritim dengan kesepuluh negara tetangga tersebut.  Indonesia  sudah mulai  menetapkan  batas  maritim  sejak  tahun  1969 dengan Malaysia di  Selat  Malaka  dan Laut  China Selatan. Sejak  itu, beberapa batas maritim juga disepakati dengan  India, Thailand, Singapura, Vietnam, Papua Nugini, Australia,  dan Filipina, meskipun belum tuntas. Sementara  itu  belum  ada  batas  maritim  yang  disepakati  dengan  Palau  dan  Timor  Leste.
     Penggunaan teknologi dalam dunia maritim indonesia harus pula dimaksimalkan agar dapat mengoptimalkan potensi kelautan Indonesia. Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah pengindraan jauh. Salah  satu  pemanfaatan  data  pengindraan jauh untuk  aplikasi  kelautan  adalah pengukuran suhu permukaan laut (SPL). SPL merupakan salah satu  parameter  geofisika yang diperlukanoleh peneliti untuk berbagai aplikasi  seperti untuk klimatologi, perubahan suhu permukaan laut global, respon atmosfer terhadap anomali suhu permukaan laut, prediksi cuaca, pertukaran gas antara udara dengan permukaan laut, pergerakan massa air, studi polusi, perikanan, dan dinamika oseanografi seperti fenomena  eddi,  gyre,  front  dan  upwelling.  Suhu  permukaan  laut  dapat  diperoleh  dari  pengukuran langsung atau dari ekstraksi data satelit penginderaan jauh.
         Gambar Informasi ZPPI  Harian  yang dibagi  menjadi  24  Project Area(PA),  PA  12  (kiri) dan  PA 13 (kanan).

Lembaga  Penerbangan  dan  Antariksa  Nasional  (LAPAN)  sudah  sejak  tahun  1986 melakukan  penelitian pemanfaatan data satelit penginderaan jauh guna mengkaji dan memantau beberapa jenis parameter fisik perairan laut, seperti suhu permukaan laut (SPL), kekeruhan air, dan sebaran/konsentrasi klorofil-a. Pada  tahun  1990  dilaksanakan  aplikasi  data  inderaja  untuk  penentuan  daerah  potensi  tambak,  tahun 2000-2001 dilaksanakan pemetaan terumbu karang di seluruh wilayah Indonesia, dan sejak tahun 2002 dilaksanakan aplikasi informasi spasial ZPPI berdasarkan data satelit inderaja untuk mendukung usaha peningkatan  hasil  tangkapan  ikan  oleh  para  nelayan.  Sampai  sekarang,  produksi  informasi  ZPPI  masih terus  dilakukan  dan  disebarkan  ke  seluruh  Indonesia  melalui  Dinas-dinas  Kelautan  dan  Perikanan  di berbagai daerah. Akan tetapi peta ini belum bisa dimaksimalkan oleh para nelayan untuk memaksimalkan potensi yang ada pada perairan indonesia sehingga perlu adanya pendampingan dari pemerintah agar peta tersebut dapat dipakai secara maksimal oleh para nelayan.

Referensi :
1. Gathot Winarso, M. Rokhis Khomarudin, Syarif Budhiman, dan Maryani Hartuti. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mendukung Program Kemaritiman. LAPAN
2. I Made Andi Arsana. Penetapan Batas Maritim Indonesia untuk Mendukung Kedaulatan dan Hak Berdaulat NKRI
3. http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/mewujudkan-indonesia-sebagai-poros-maritim-dunia-yang-maju-dan-mandiri

Sabtu, 28 Februari 2015

Implikasi Konsep Wawasan Nusantara terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir




I.                  Perjuangan Diplomasi Maritim Indonesia
Dimulai dari Deklarasi Djuanda 57 tahun yang lalu yang bertujuan untuk menjelaskan ke dunia bahwa laut yang ada diantara pulau-pulau di Indonesia adalah bagian wilayah laut Indonesia. Indonesia melegalisasi deklarasi tersebut dalam UU RI No.4/Prp. 1960 perihal perairan Indonesia. Deklarasi Juanda tidak hanya terhenti pada deklarasi tetapi juga diperjuangkan menjadi landasan penentuan batas laut bagi komunitas internasional.

Diplomasi maritim mengawal Deklarasi Djuanda supaya diterima oleh komunitas internasional. Pada tahun 1982, mayoritas anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyepakati Konvensi PBB tentang Hukum Laut (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS-82) di Wina. Deklarasi Juanda juga tercantum di dalam UNCLOS dengan mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan.

UNCLOS berisi tentang pengakuan 12 mil laut teritorial dari negara-negara di dunia dan adanya kedaulatan negara atas sumber daya kelautan dan keterkaitan hukum lainnya di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) selebar 200 mil dan landas kontinennya. UNCLOS diratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk UU No 17/1985. Majelis Umum PBB mensahkan UNCLOS sebagai fondasi hukum atas kelautan dunia yang berlaku efektif pada tanggal 16 November 1994.

Dibutuhkan waktu yang lama untuk memasukkan Deklarasi Juanda ke dalam UNCLOS (25 tahun). Kesabaran dan ketekunan adalah modal dari para pendahulu kita terutama Mochtar Kusumatmadja dan Hasjim Djalal.

Indonesia secara konsisten memperjuangkan agar elemen-elemen Deklarasi Juanda masuk ke dalam UNCLOS. Diplomasi maritim juga melakukan perundingan- perundingan bilateral antara Indonesia dan negara-negara yang berbatasan langsung dengannya seperti Malaysia, Singapura, Palau dan Australia. Ada perundingan yang sudah disepakati dan ada juga yang masih berjalan.

II.                Wilayah Maritim Indonesia
Seperti yang disampaikan pada UNCLOS sebuah  negara  pantai  berhak  atas  laut  territorial  (hingga  12  mil  laut),  zona tambahan  (hingga  24  mil  laut),  ZEE  (hingga  200  mil  laut),  dan  landas  kontinen  atau  dasar laut  yang  lebarnya  bisa  lebih  dari  200  mil  laut.  Ini  berdasarkan  ketentuan  Konvensi  PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Dari mana lebar zona maritim ini diukur?  Dari garis pangkal. Garis pangkal ini bisa berupa garis pantai ketika air surut atau bisa juga berupa garis lurus yang menghubungkan titik paling tepi pulau-pulau terluar. Indonesia, dalam hal ini, berhak atas  garis  pangkal  demikian  yang  disebut  garis pangkal  kepulauan.  Gambar berikut :

Gambar diatas Kawasan maritim yang bisa diklaim negara pantai (kepulauan) menurut UNCLOS
Dari  gambar di  atas bisa  dilihat bahwa  luas  laut yang bisa diklaim  sangatlah  luas  menurut UNCLOS,  jauh  lebih  luas  dari  daratannya  sendiri.  Meski  demikian,  mungkinkah  sebuah negara  bisa  mengklaim  laut  yang  begitu  luas?  Tentu  tidak  mungkin  karena  di  sekitarnya pasti  ada  negara  tetangga  yang  juga  memiliki  hak  yang  sama.  Artinya,  meskipun  suatu negara  berhak  atas  ZEE  sejauh  200  mil  laut,  negara  tersebut  tentu  tidak  bisa  mengklaim semuanya jika tetangganya berada  kurang  dari 2 x 200 mil  laut  darinya.

III.             Perbatasan-Perbatasan Dengan Negara Tetangga
Dilihat dari sisi Geografis Indonesia terletak berdekatan dengan beberapa negara yang ada disekitarnya sehingga indonesia tidak dapat mengklaim atas ZEE sejauh 200 mil laut, dikarenakan oleh negara-negara yang berdekatan dengan indonesia juga berhak atas hal tersebut. Karena  sama-sama  berhak  dan  jaraknya  yang  berdekatan, negara-negara  pantai  harus  berbagi  laut  yang  disebut  dengan  delimitasi  maritim,  seperti diilustrasikan pada Gambar dibawah ini :


      Atas dasar tersebut maka harus dibuat kesepatan antar negara yang saling berbatasan untuk membuat batas maritim antar negara tersebut. Tapi  hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan, hal tersebut dikarenakan karena pada dasarnya negara pasti ingin wilayah yang seluas-luasnya, hal tersebut mengakibatkan sulit disepakati perjanjian tersebut atau perlu perundingan atau negosiasi yang alot untuk dapat menetapkan batas antar negara-negara tersebut. Hal tersebut pula yang mengakibatkan saling klaimnya batas antar negara-negara tersebut sehingga terjadi saling klaim atas wilayah laut antar negara-negra yang berdekatan. Hal tersebut harus segara diatasi dengan diadakannya perundingan antar negara-negara tersebut agar permasalahan pelanggaran batas wilayah atar negara-negara bisa segera diatasi.

Referensi
1.      I Made Andi Arsana, “Memagari Laut Nusantara : Penetapan Batas Maritim Indonesia untuk Mendukung Kedaulatan dan Hak Berdaulat NKRI”

Rabu, 18 Februari 2015

Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 Menjadi UU No. 1 Tahun 2014


Perubahan pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilyah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi UU No. 1 Tahun 2014 dikarenakan adanya gugatan dari sekelompok nelayan dan LSM, gugatan tersebut dimaksutkan pada HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) yang diatur dalam UU No. 27 Tahun 2007. Hal tersebut dikarenakan HP3 dianggap dapat mengurangi ruang gerak nelayan tradisional untuk mencari ikan dan membuka peluang penguasaan para pemilik modal untuk menguasai perairan pesisir.


Kemudian imbas dari hal tersebut adalah dengan pengajuan gugatan dari kelompok tersebut ke MK yang pada akhirnya gugatan tersebut dapat dikabulkan oleh MK sehingga terbentuklah UU No. 1 Tahun 2014 sebagai revisi atau penyempurnaan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Adapun pasal yang mengalami perubahan dari UU No. 27 Tahun 2007 menjadi UU No. 1 Tahun 2014 adalah sebanyak 17 pasal dan ditambahkan 7 pasal baru serta penambahan 2 ayat baru pada pasal 1. Perubahan dan penambahan pada pasal ataupun ayat tersebut pada dasarnya meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
a.       Pasal 1 menjelaskan tentang :
Definisi hal-hal yang berkaitan dengan Pengelolaan wilayah Pesisir, wilayah cakupannya, dan dampak dari pengelolaannya, serta pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
b.      Pasal 14 menjelaskan tentang tata cara atau mekanisme penyusunan rencana.
c.       Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 22A, 22B, 22C, 26A, 30, 50 menjelaskan tentang perizinan dalam pemanfaatan atau pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
d.      Pasal 60 menjelaskan tentang hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat.
e.       Pasal 63 menjelaskan tentang pemberdayaan masyarakat.
f.       Pasal 71 menjelaskan tentang sanksi administratif.
g.      Pasal 75 dan pasal baru 75A menjelaskan tentang ketentuan pidana.
h.      Pasal 78A dan 78B menjelaskan tentang pelimpahan kewenangan wilâyah Konservasi Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil ditunjukan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, penyesuaian Izin Pemanfaatan Pesisir Dan perairan pulau-pulau Kecil yang telah ada tetap berlaku dan wajib menyesuaikan dengan Undang-undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 tahun.


Referensi

UU No. 7 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil